Aliran-Aliran
Pemikiran Yang Mempengaruhi Terbentuknya
Sosiologi Hukum
A.
Pendahuluan
Beberapa hal yang
menjadi penyebab mengapa beberapa tokoh atau ahli hukum melibatkan
diri dalam pemikiran filsafat atau ahli hukum melibatkan diri dalam
pemikiran filsafat hukum dan ilmu hukum. Soerjono Soekanto
mengungkapkan beberapa penyebab para tokoh atau para ahli hukum
tersebut menerjunkan diri dalam bidang filsafat hukum antara lain;
lantaran timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan dari hukum
yang berlaku, timbulnya berbagai pendapat ketidakpuasan terhadap
hukum yang berlaku. Karena hukum tersebut tidak lagi sesuai dengan
keadaan masyarakat yang justru diatur oleh hukum itu, timbulnya
ketegangan antara hukum yang berlaku dengan filsafat, karena adanya
perbedaan antara dasar-dasar dari hukum yang berlaku dengan pemikiran
filsafat. Soerjono Soekanto mengakui hal tersebut diatas bahwa isi
dari peraturan-peraturan yang berlaku tidaklah lagi dianggap adil dan
tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk menilai perilaku dan
atau tindakan orang.
Dari paparan singkat
diatas filsafat hukum menurut soekanto adalah bertujuan untuk
menjelaskan nilai-nilai dan juga dasar-dasar hukum sampai kepada
dasar-dasar filsafatnya. Inilah beberapa mazhab atau pemikiran yang
melatarbelakangi terbentuknya sosiologi hukum:
1.
Mazhab Formalistis
Tokoh
terpenting dalam mazhab ini adalah Jhon
Austin
(1790-1859), ia mengatakan bahwa: hukum merupakan perintah dari
mereka yang memegang kekuasan tertinggi (law
is command of the lawgivers),
atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah
perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berfikir, perintah
mana yang dilakukan oleh mahluk berfikir yang memegang dan mempunyai
kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup dan karena ajarannya dinamakanAnalitical
Jurisprudence.
Ajaran Austin kurang/tidak memberi
tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Austin membagi hukum
dalam 2 (dua) bagian:
1.
Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia
2. Hukum yang dibuat
dan disusun oleh manusia, hukum ini terbagi lagi menjadi 2 (dua)
bagian:
A. Hukum
yang sebenarnya; hukum yang tepat disebut sebagai hukum, jenis hukum
ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sebenarnya
mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang
sebenarnya terbagi 2 (dua):
·
Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undanf,
peraturan pemerintah dan lain-lain.
·
Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual
yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam kuratele
atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.
B. Hukum
yang tidak sebenarnya; adalah bukan hukum yang merupakan hukum yang
secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan
yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.
Tokoh
yang kedua adalah Hans
Kelsen (1881),
dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran Hans Kelsen tidak memberi
tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang didalam
masyarakat. ajaran Kelsen memandang hukum sebagai sollen
yuridis
semata-mata yang sama sekali terlepas dari das
sein/kenyataan
sosial. Hukum merupakan sollens kategori
(seharusnya) dan bukan seins kategori (adanya):
orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai
suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah
ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.
Ajaran
stufen theory
berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkhis dari
hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan
hukum lainnya yang lebih tinggi adalah grundnorm
atau norma dasar.
2.
Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
Mazhab sejarah dan
kebudayaan ini adalah senyatanya mempunyai pemikiran yang
bertentangan dengan mazhab formalisme. Dalam hal ini mazhab sejarah
dan kebudayaan menekankan bahwasanya hukum hanya dapat dimengerti
dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum tersebut
timbul.
Beberapa
pemikir mazhab ini, antara lain Friedrich
Karl von Savigny(1779-1861)
berasala dari jerman, tokoh ini juga ini dianggap sebagai pemuka
sejarah hukum (bahkan Georges Gurvitch menyatakan Savigny dan Puhcha
adalah peletak dasar mazhab sejarah ini). Ia berpendapat bahwa hukum
merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (valksgeist).
Yang mana semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan
serta bukan berasal dari pembentukan undang-undang.
Tokoh
lain dalam mazhab ini adalah Sir Henry Maine
(1822-1888), ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status
kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mana masih
sederhana kepada masyarakat yang senyatanya sudah modern dan kompleks
serta kaidah-kaidah hukum yang ada pada masyarakat sederhana secara
berangsur-angsur akan hilang dan berkembang kepada kaidah-kaidah
hukum sudah modern dan kompleks.
Mazhab
ini membangun kajian-kajian adaptif atas masyarakat yang relatif
bersifat statis homogen, dengan masyarakat yang komplek (modern),
dinamis dan relatif heterogen. Sehingga sangat membantu dalam
perkembangan bahkan memprediksi bangunan sosiologi hukum baik secara
teoritis maupun secara aplikatif. Sehingga apa yang dikatakan
Satjipto Rahardjo
bahwa benturan-benturan antara hukum dan negara dengan masyarakat
dengan segala budayanya yang lebih alami memang tidaklah dapat
dihindari, apalgi suatu negara dan bangsa yang sangat majemuk
(seperti Indonesia), makanya agar proses hukum itu tidak dibatasi
sebagai proses hukum, melainkan sebagaimana ditegaskan Satjipto
Rahardjo adalah juga proses sosial.
3.
Aliran Utilitarianisme
Prinsip
aliran ini adalah bahwa masyarakat bertindak untuk memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Sebagaimana yang diungkapkan
olehJeremy Bentham
(1748-1832) yaitu:
“Dalam teorinya
tentang hukum, Bentham menggunakan salah satu prinsip dari aliran
utilitarianisme yakni bahwa manusia bertindak untul memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan… setiap kejahatan harus
disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan
tersebut. Dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari
apa yang diperlakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan”.
Yang menjadi kelemahan
teori Bentham ini adalah bahwa ukuran keadilan, kebahagiaan dan
penderitaan itu sendiri diinterpretasikan relatif berbeda antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Sehingga keadilan dan
penderitaan tersebut tidaklah menjadi wujud yang pasti sama bagi
setiap manusia.
Tokoh
lain dalam aliran ini adalah Rudolph Von Ihering
(1818-1892) yang ajarannya disebut sosial utilitarianisme. Ihering
berpendapat:
“… hukum sebagai
sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai
dengan tujuan masyarakat dimana merela menjadi warganya… hukum juga
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan
perubahan-perubahan sosial”.
4.
Aliran Realisme Hukum
Aliran
ini diprakarsai oleh Karl Liewellyn
(1893-1962), Jereme Frank(1889-1957)
dan Justice Oliver Wendell Halmes
(1841-1935) ketiga orang tersebut berasal dari Amerika. Konsep mereka
sangat radikal tentang proses peradilan, dikatakannya bahwa
hakim-hakim tidaklah hanya menentukan hukuman, tetapi bahkan
membentuk hukum. Seorang hakim selalu harus memilih, dia yang
menentukan prinsip-prinsip mana yang dipakai dalam menentukan
pemeriksaan di pengadilan dan pihak-pihak mana yang akan menang dalam
suatu perkara. Sering kali suatu keputusan hakim telah mendahului
penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Kemudian konsep
keadilan dirasinalisasikan di dalam suatu pendapat tertulis.
Aliran realisme hukum
sangat memperhatikan tentang konsep keadilan, namun secara ilmiah
mereka menyadari bahwa keadilan, atau hukum yang adil itu sendiri
paling tidak sangat sulit ditentukan kalau tidak dikatakan tak bisa
ditetapkan. Sementara itu tugas hukum tidak lebih hanyalah proses
dugaan bahwa apabila seseorang berbuat dan atau tidak berbuat
sesuatu, maka dia akan menerima derita sebagai sanksi dan atau
sebaliknya sesuai dengan proses keputusan yang ditetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar